Cerpen #3
Hello ...
It's been a while since I shared my drafted short stories. So, here I come with another short story that rejected by the editor of so many magazines, I wish they could post one of them, but that's fine that now my babies end up here. Well, lemme know what kind of post you wait the most. I know it is silly but, happy reading. Xoxo.
Samudra di Vancouver
https://pngtree.com/freepng/dating-couple-appointment-winter-date-outdoor-dating_3934280.html |
Awal tahun baru
yang tidak biasa. Semua kesempurnaan yang terlihat maupun yang terasa di
dada Yura begitu jelasnya tergambar di senyumnya. Bibir mungilnya terlihat
lebih manis dengan pewarna soft pink beraroma cherry, kesukaannya. Tangan
kirinya sedikit lebih hangat dari tangan kanannya yang padahal dimasukkan dalam
kantung jaket tebalnya. Di sampingnya kini, musuh dalam segala hal-nya
mendongak menatap salju pertama yang turun dengan indahnya, dan tangan kanannya
menggandeng tangan gadis mungil, Yura, dengan eratnya. Musim dingin pertama
mereka di Vancouver.
**
Terdengar dengan kerasnya berdentum loud speaker di kamar
Yura pagi itu, sudah dapat ditebak, lagu EXO, salah satu boyband yang sedang ia
dan jutaan remaja cewek di luar sana gemari. Dia sedikit menghemingkan beberapa
bagian reff lagunya dengan asal. Karena ini pertama kalinya ia menjadi K-Pop
lover. Paling mentok dia mungkin hanya bisa mengucapkan Kamsahamnida dengan benar. Mungkin karena ia mewakili kelas maupun membawa nama sekolah ke
tingkat kabupaten bahkan nasional dalam lomba bahasa Inggris dan voli bukan bahasa Korea.
Selama ini ia selalu mengikuti lomba speech dan debate, padahal dia sudah
menjelaskan berkali-kali bahwa dia berjiwa pendongeng. Besar harapannya di
tahun terakhirnya di SMA ini ia dapat memperoleh kesempatan mengikuti Story
Teller Competition di bulan Mei mendatang, karena ini adalah kesempatan
terakhirnya.
Selama ini ia bermimpi untuk melanjutkan studinya ke
Negeri Paman Sam atau ke negeri tetangga, Australia. “Yura, mau sampai kapan
kamu nyanyi terus? Nggak enak tuh Andar sudah nunggu di teras.” Kata kakak Yura
dari luar kamar Yura. “Iya Mas Dias, ini juga tinggal matiin mp3-nya.” Kata
Yura bohong. Padahal jelas ia masih sibuk mencari sisirnya.
Setelah 15 menit berlalu, akhirnya Yura keluar dari
kamarnya, lalu menyambar selembar roti dari meja makan dan langsung berlari menuju ruang tamu, karena
yang dicarinya tak ada, maka ia langsung ke teras dan ditemukannya cowok
kesayangannya itu. “Maaf ya, Bos. Biasa
urgent tadi hehehe,” katanya seraya nyengir dan menyuapkan roti ke mulut
kecilnya. “Sudah biasa Tuan Putri, yuk langsung berangkat. Barusan Samudra
lewat udah buru-buru tuh,” kata Andar pada Yura sambil menghidupkan mesin
motornya. “Alah Samudra sih suka sok bener. Cari muka, babe,” kata Yura
mengakhiri obrolan pagi itu. Kalau sudah menyangkut Samudra, Andar, kekasihnyapun
sudah malas mengomentari, nggak akan pernah ada habisnya.
Sejak dulu memang Yura dan Samudra selalu bersaing dalam
hal apapun. Entahlah mulai dari mana, dulu saat duduk di bangku SD mereka tidak
sesengit ini. Namun, setelah di SMP, mereka jadi susah akur saat bersama
hehehe. Terutama saat ada kompetisi bahasa Inggris, pasti pembimbing mereka
memilih Samudra untuk Story Telling, yang mana Yura sangat mengiginkannya sejak
dulu. Itulah mengapa Yura tambah susah baik-baik saja dengan Samudra. Singkatnya
tujuan utama Yura sesungguhnya adalah membuat dirinya tepilih menjadi wakil
sekolahnya di Hari Pendidikan Nasional nanti sebagai story teller bukan yang
lainnya, dan itu maksudnya mengalahkan Samudra.
**
Sesampainya di sekolah, Andar langsung berpisah dengan
Yura. Kelas IPA-2 berada di lantai 2 dan kelas Andar, IPS-1 ada di lantai 1 di
sisi gedung yang lain, lumayan jauh dari kelas Yura. “Nanti pulang duluan aja
ya, Ndar. Aku ada technical meeting buat
persiapan lomba, nih,” katanya manja. “Nanti aku juga ada latihan basket kok,
kalo kelarnya bareng aku tunggu deh ya, dadah,” kata Andar langsung
meninggalkan Yura setelah melihat gadis mungil kesayangannya itu
manggut-manggut lalu berlari menuju kelasnya.
Di kelas Yura tidak punya banyak teman, mereka lebih
memilih berteman dengan Samudra. Bukan karena dia ganteng atau yang lainnya.
Samudra berbadan mungil kecil, berkulit putih, memakai behel dan berkacamata.
Sedangkan Yura berbadan mungil, berkulit sedikit gelap dan rambutnya selalu
dicepol kemanapun dan kapanpun, wajahnya memang sangat tidak bersahabat dan
pendiam. Mungkin itu yang membuat teman-teman sekelasnya juga jarang ngobrol
dengannya.
“Ra, kapan kamu mulai latihan?,” tanya Renata,
teman sebangku Yura, mengagetkan Yura dan membuatnya langsung memasukkan HP-nya
ke dalam saku seragamnya. “Duh, kalau udah dateng bilang, dong. Kirain udah ada
Bu Aris. Nanya apa barusan?,” kata Yura lalu mengutak-atik HP-nya lagi. “Malah
ngomel lagi, kapan mulai latihan, bawel?,” ulang Renata. “Belum pasti, Ta.
Nanti aja baru mau diomongin, kamu ikut deh,” jawab Yura. “Yah, nih anak mau
ngledek malahan. Mending lomba balap karung, Ra,” jawab Renata lemes, lalu
keduanya tertawa bersamaan dibarengi dengan deringan bel, tanda pelajaran
dimulai.
**
“Selamat siang, Pak,” ucap murid-murid serentak,
menandakan berakhirnya pembelajaran Sabtu itu. Tampak jelas keceriaan di wajah
mereka menyambut akhir pekan yang sudah lama dinantikan. Bagi kelas XII yang
sibuk dengan tugas dan les tentu saja detoks akhir pekan sangat dibutuhkan. Terdengar beberapa anak lelaki
saling kode untuk pergi futsal bersama, di sudut lain Renata memanggil Liana
dan Eden untuk pergi nonton bersama. Yura sibuk mengemasi buku-bukunya.
“Duluan ya, Ra. Aku mau jalan sama anak-anak, nggak nitip nih?,” kata Renata
sembari menata rambut lurusnya yang begitu indah, sering membuat Yura merasa
iri, “Ok, have fun yaa. Nggak deh, Ta, lagi hemat maksimal,” kata Yura sambil
senyum kecut. “Duh, kasian. Setelah UNAS nggak boleh hemat lagi, harus sering
maen bareng aku pokoknya,” canda Renata. “Hahaha siap, kapten,” kata Yura lalu
melambaikan tangannya, membalas lambaian tangan
Renata yang menjauh darinya.
Seseorang menepuk bahunya pelan. “Bareng ya,” kata
Samudra nyengir. “Eh kamu, Sam. Duluan aja deh, aku mau nemuin Andar dulu,”
kata Yura cari alasan. “Yaudah aku ikut kamu dulu aja,” kata Samudra, membuat
Yura terdiam. “Yah, nggak pengertian banget sih kamu, Sam. Masa aku mau makan
berdua sama Andar kamu ngikut,” kata Yura berbohong akhirnya. “Aku cari meja
makan yang jauh deh,” kata Samudra nggak mau kalah. “Ah males, langsung ke
Laboratorium Bahasa aja kalau begitu,” kata Yura menyerah. “Nanti kalau kamu
lapar gimana?,” tanya Andar sembari mengejar langkah gusar Yura. “Mati,” kata
Yura dalam hati. Ia biarkan Samudra mengikutinya di belakang.
Padahal tak pernah ada yang salah pada Samudra, bahkan ia
tak pernah benar-benar menganggap Yura sebagai saingannya. Tapi Yura
menyebutnya seperti Malfoy, sementara dia adalah Harry Potter. Terkadang ia
membesarkan masalah seperti saat Samudra tak sengaja melempar bola kasti lalu
mengenai Yura, sesampainya di rumah Yura bercerita bahwa Samudra sengaja
melempar bolanya dengan begitu keras agar mengenainya dan ia akan gagal
mengikuti lomba yang akan mereka ikuti saat itu.
**
Sepanjang sore ini Yura hanya melamun di teras belakang
rumahnya, hasil technical meeting hari ini membuat Yura sedikit geregetan.
Setelah Yura menyiapkan segalanya, seolah ia siap perang dengan Samudra dan
menentang keputusan pembimbing yang jika mereka tetap memintanya untuk mewakili
sekolahnya untuk lomba speech, ternyata keputusannya kelas XII tidak akan
ditunjuk lagi karena harus fokus untuk mempersiapkan ujian kelulusan dan ujian
masuk perguruan tinggi.
Rasanya seperti orang gila yang telah bersusah payah
mendaki gunung padahal itu hanya sebuah gundukan pasir. “Saatnya kita pensiun
ya,” kata Samudra tadi siang setelah rapat berakhir. Kata-kata itu terdengar
begitu menyebalkan di telinga Yura. Entahlah.
**
Akhirnya ujian kelulusanpun sudah berlalu. Andar sibuk
mengurus perpindahannya ke Yogyakarta. Ia melanjutkan kuliahnya ke salah satu
universitas ternama di sana dengan jurusan Teknik Geologi.
Sesuai janji mereka, setelah hampir 2 tahun bersama Yura
dan Andar memutuskan untuk fokus kuliah
dan melanjutkan hubungan mereka sebagai sahabat. Mereka memiliki asumsi yang
sama bahwa, cinta monyet akan menghambat pendewasaan, hehe, entahlah.
Sementara Andar sibuk dengan perpindahannya, Yura masih
harap-harap cemas menunggu berita dari beberapa universitas luar negeri. Segala
tes sudah dijalani. Sekarang yang dilakukan hanya menunggu pengumuman. Sembari
itu terkadang Andar masih menyempatkan meneleponnya dan memberi semangat.
Seperti malam ini, “Udah nggak usah khawatir, pasti kabar baik segera dateng
kok, Ra,” jawab Andar dari seberang, mencoba menenangkan Yura kalau sudah mulai
dengan semua pengandainya. Seandainya nggak diterima gimana? Seandainya bukan
rejekinya gimana? Seandainya dan
seandainya yang lain. “Tapi beberapa teman yang ke Australia sudah daftar ulang
sejak minggu lalu, Ndar,” kata Yura manja. Akhirnya Yura memutuskan untuk mendaftar
ke salah satu universitas di Kanada dan Inggris. Setelah dipertimbangkan oleh
kedua orang tuanya dan masukan dari Mas Dias, Yura membatalkan mendaftar ke
universitas tetangga itu. Sedangkan kakaknya sendiri yakin pilihannya yang
terbaik, karena banyak pasiennya berkata demikian.
“Ya sudah sabar saja. Ngomong-ngomong, Samudra kok nggak
dengar kabarnya ya, Ra?,” tanya Andar tiba-tiba. “Kata Mas Dias dia udah
terbang ke Amerika sejak wisuda, Ndar. Papanya kan punya koneksi di sana, Ndar,
ya gampang aja dia,” kata Yura. “Udah nggak usah mulai, siapa tahu kalian nanti
tetanggaan kampusnya hehe,” kata Andar. “Ya semoga enggak. Udah 2 tahun di SMA
sekelas kalau udah di negeri orang masih aja ketemu dia, kalau nggak jodoh yang
terkutuk aku, Ndar,” jawab Yura lalu tertawa kencang. “Dia nggak pamit kamu
gitu, Ra? Kan kalian tetanggaan,” kata Andar menggoda Yura. “Kata Mas Dias sih,
iya, dia ke rumah malam hari sebelum dia berangkat, tapi kan aku lagi jalan
sama kamu hehe,” kata Yura.
Setelah percakapannya di telepon malam itu, Yura teringat
akan sepucuk surat dari Samudra yang dititipkan pada kakak Yura. “Pesennya
dibuka pas kamu udah di pesawat perjalanan ke Amrik atau Inggris, Ra,” kata Mas
Dias sambil menyerahkan surat dari Samudra malam itu. “Malah nggak akan aku
baca kali, Mas,” kata Yura dalam hati.
Tiba-tiba ingatannya kembali saat kelas IX semester
ganjil lalu, saat ia turun dari sepeda Samudra, “Sam, aku mau ngomong sesuatu,
would you stay a bit?,” kata Yura saat itu. “Let me tell you this first,” lalu
Samudra membisikan sesuatu ke telinga kanan Yura. Gadis mungil itu menghentikan
desah nafasnya dan matanya melotot karena terkejut, sesuatu menyakiti dadanya. “Kamu tahu kan, dia yang
biasanya nyanyi lagu-lagu korea pas istirahat, ahh pokoknya ala korea itu lho,
Ra,” kata Samudra menimpali bisikannya sendiri. Samudra menemukan cinta
pertamanya.
**
Telepon berdering berkali-kali di ruang tamu, “Biar aku
aja, Mas,” kata Yura berlari mendahului kakaknya, akhirnya Mas Dias memutar balik
badannya menuju ruang prakteknya kembali. Akhir-akhir ini pasien banyak yang
meminta kakak Yura untuk membuka Klinik Gigi di rumah, dengan alasan waktu yang
lebih fleksibel.
Yura angkat gagang telepon itu. “Selamaaaaat yaaaa,”
teriak Andar dari Yogyakarta sana. “Terimakasih, kapten. Tapi kita jadi semakin
jauh,” kata Yura manja. “Mimpi harus diwujudkan, dong,” kata Andar menggurui.
“Iya, Ndar,” kata Yura. Lalu mereka mengakhiri panggilan itu dengan saling
pamit dan menyemangati satu sama lain.
Setelah menutup telepon itu, Yura kembali ke kamarnya.
Mengemasi semua barang yang akan dibawa, dan merapikan barang-barang yang akan
di masukkan ke gudang. “Loh, Ra, nggak salah apa itu semua DVD EXO kamu
masukkan gudang,” kata Mas Dias sambil menunjuk kardus bertuliskan “THROW THEM”.
“Enggak kok, Mas. Aku tuh suka sama EXO maksa,” kata Yura. “Ternyata sampai
saat ini masih nggak jodoh, yaudah aku simpan dulu. Nanti mungkin aku dengerin
lagi hehe,” kata Yura lagi. “Oh iya, Ra, titip salam ke Samudra ya kali aja kalian
ketemuan di sana hehe,” goda kakaknya. “Enak aja, tapi dia di mana ya, Mas?,”
tanya Yura yang sebenarnya sangat penasaran. “Nggak tahu juga, Ra. Emangnya
dia nggak tulis alamatnya di suratnya
waktu itu ya?,” tanya Mas Dias. “Aku kira dia ngasih alamatnya, jadi beneran
belum baca? Yaudah besok pagi baca yang kenceng di pesawat, hehe,” kata Mas
Dias sambil berlalu, karena bel berbunyi tertanda ada pasien datang.
Yura menghentikan geraknya, dan melompati kardus besar di
hadapannya, dia mencari-cari benda yang dibicarakan kakaknya itu. Dia ambil
kardus kecil berwarna coklat, dia buka dan dia temukan kertas putih itu,
berdebu. Dibuka dan dibacanya perlahan.
PASTI PERASAANMU SANGAT BAHAGIA SEKARANG, MENUJU TEMPAT
IMPIANMU SAMBIL MEMBUAT LIST TO DO. TENANGLAH, SEMUA AKAN BERJALAN BAIK DAN
TIDURLAH, PERJALANANMU MASIH SANGAT JAUH.
MAAF AKU HANYA BISA MENULISKANNYA, KARENA AKU TAHU KAMU
TIDAK AKAN MENDENGARKANKU. TAPI AKU SANGAT MENYAYANGIMU, SAHABATKU. MEMILIKI
SESEORANG YANG SPESIAL LALU KEMUDIAN KEHILANGAN SEORANG SAHABAT SEPERTIMU.
APAKAH AKU SANGAT TIDAK PERDULI HINGGA KUSADARI SAAT KAU TERLIHAT LEBIH BAHAGIA
SAAT BERSAMA ANDAR. AKU JUGA INGIN MEMBUAT KAMU TERTAWA SEPERTI ITU, SEPERTI
SAAT KITA LEBIH SERING BERSAMA DULU.
SELAMAT MERAIH MIMPI-MIMPI INDAHMU YURA. AKU DI SINI, DI
VANCOUVER JUGA TAK AKAN PERNAH MENGALAH HEHE.
THANKS FOR THIS SUPPERB 12 YEARS, YURA. IT IS OUR OWN
FAIRY TALE THAT SO HARD TO TELL EVEN FOR A STORY TELLER.
Air mata Yura menetes, dia menuju ruang tamu dan menekan
beberapa tombol, setelah terhubung, yura menayakan banyak hal pada Ibu Samudra
yang membuatnya semakin terkaget-kaget setelah mendengar bahwa mereka akan
menuntut studi di kampus yang sama. Setelah mengakhiri panggilan. Ia berlari
menuju kamar kakaknya, tanpa permisi dia akses internet di komputer kakaknya,
ia tulis sebuah email untuk Samudra :
AKU MENYUSULMU SAMUDRA.
Lalu ia klik send.
0 comments